Citarum, Aku Cinta dan Aku Bela
“Bapak jangan macam-macam, saya penduduk asli desa ini. Ambil segera sampah yang dibuang sembarangan itu! Mana KTP Bapak?”
Kalimat tegas tersebut disampaikan seorang yang peduli dengan kebersihan dan kelestarian lingkungan. Pak Asep Rikmawan namanya. Beliau adalah warga desa Bojongsoang kabupaten Bandung. Sehari-hari bertugas sebagai perangkat desa, tepatnya di bagian umum.
Siang itu terasa terik, namun tak menyurutkan semangatnya saat menjalani sesi wawancara di kantor desa Bojongsoang. Warga Bandung dan Jawa Barat pada umumnya, pasti sudah tak asing lagi dengan nama desa Bojongsoang. Terletak di cekungan Bandung, menyebabkannya sering menjadi trend topik pemberitaan. Bukan karena prestasi yang diraih, tetapi karena banyak warganya yang terkena banjir.
Menurut Pak Asep, ada banyak program digulirkan baik dari pemerintah pusat maupun lokal berkenaan dengan penanggulangan banjir di wilayahnya. Salah satunya adalah program Citarum Bestari.
“Program Citarum Bestari merupakan program kerjasama TNI dengan pemerintah Desa. Kami memberdayakan Ibu-Ibu untuk turun terjung langsung membersihkan sungai Citarum” jelas pria berperawakan sedang tersebut.
Pemberdayaan Ibu-Ibu bertujuan agar informasi mengenai pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup tersampaikan secara efektif pada warga. Jika Ibu-Ibu mau turun tangan, tentu saja para Bapak-Bapak tak akan tinggal diam. Demikian Pak Asep melanjutkan penjelasannya.
Bapak Asep Rikmawan pengusul ide "Polisi Sampah" (sumber : dok pribadi) |
Desa Bojongsoang itu dikelilingi sungai Cikapundung, Cigede dan Cisangkuy. Semua bermuara ke Citarum. Jika masalah sampah di sungai-sungai kecil ini tak tertangani, tentu akan membawa masalah pada Citarum.
“Desa kami akan merasakan akibatnya”. Menurut Pak Asep, sampah menjadi perhatian besar di tahun 2018. Karena sampah ini bisa menjadi petaka jika tidak mendapat perhatian serius.
Namun, sebagus apapun program yang digulirkan hanya akan menjadi omong kosong jika tidak mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Jika jumlah warga yang peduli dengan kelestarian Citarum hanya segelintir saja dan berlangsung di momen tertentu saja, semua akan jadi sia-sia.
“Hal yang membuat saya sedih adalah, jenjang pendidikan seseorang ternyata tidak sepadan dengan pemahaman tentang pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Saat saya meminta KTP warga yang membuang sampah sembarangan, saya temukan fakta, ternyata mereka datang dari kalangan terpelajar!”
Pernyataan itu tentu menohok kaum akademisi. Bagaimana mungkin seseorang bertitel, tidak cinta kebersihan dan menjaga kelestarian lingkungan. Jangan-jangan mereka belum paham bahwa Citarum saat ini tengah jadi sorotan? Sungai sepanjang 269 kilometer ini merupakan 1 dari 10 sungai terkotor di dunia. Berdasarkan data, terdapat 1.500 ton sampah domestik dibuang ke sungai Citarum, belum ditambah limbah industri yang terbuang ke sungai ini [1].
Sungai, sebagai sumber kehidupan, tanpa sadar telah kita buang posisinya pada status terendah. Sampah rumah tangga, limbah pabrik dan limbah medis kita buang seenaknya. Kita tak mau berdekatan dengan sampah dan barang-barang bekas lainnya. Bau, kotor, tidak bisa dipakai. Lalu yang terlintas adalah : buang saja ke sungai agar terbawa arus. Habis perkara. The End.
Itulah kenyataan yang terjadi saat ini. Di satu sisi aparat dan segelintir warga berjuang untuk melestarikan dan mengembalikan Citarum menjadi harum. Di pihak lain, ada lebih banyak penduduk yang tidak mau ambil pusing. Kasur, kursi rusak pun ikut dibuangnya ke sungai. Dimana otak kalian?
“Untung saya masih punya hati. Semula saya ingin memotret wajah para pembuang sampah sembarangan dan mengunggahnya ke media sosial. Akan saya sampaikan pada khalayak, inilah 'monyet' yang suka membuang sampah sembarangan” wajah Pak Asep memerah, menahan marah.
“Nampaknya usulan adanya polisi sampah yang melibatkan warga untuk menindak pembuang sampah sembarangan bisa jadi ide brilian. Pilihlah beberapa warga di sebuah RT untuk bertindak sesuai hukum, menjerat pembuang sampah sembarangan,” ujar Pak Asep.
“Hal yang termudah adalah mulailah dari diri sendiri, menular pada anggota keluarga dan selanjutnya masyarakat” Pak Asep menyampaikan pesannya.
Memberikan contoh adalah hal yang utama. Bagaimana seorang pimpinan cinta kebersihan akan menular pada bawahan. Bagaimana seorang ayah peduli lingkungan akan diikuti oleh anggota keluarga. Membuat Citarum kembali harum menjadi gerakan masif, adalah tugas kita bersama.
“Bukan masalah gelar atau titel yang dimilikinya, tapi karakter yang perlu dibentuk untuk menciptakan Citarum Harum” kembali Pak Asep menegaskan.
Bertenda di Pinggiran Citarum
Kerap terkena banjir, membuat warga di sekitar sungai Citarum akhirnya “berdamai” dan tampak pasrah. Pemandangan maraknya orang yang meminta sumbangan saat banjir adalah hal yang lumrah ditemukan.
Tentu hal ini harus menjadi perhatian serius. Bagaimana mungkin mereka bisa nyaman dalam kondisi yang mengenaskan? Apakah karena mereka merasa, saat banjir bisa mendatangkan banyak bala bantuan?
Padahal, bau menusuk akan kita rasakan saat mendatangi desa yang tergenang banjir hingga setinggi atap rumah. Nafas terasa pengap. Warga harus bekerja keras membersihkan rumah. Tentu bukanlah pekerjaan ringan, membersihkan perabot dan seisi rumah dari lumpur banjir.
Mereka memilih berdamai karena sudah merasa tidak mempunyai pilihan. Pindah ke tempat yang lebih baik tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Toh banjir tidak datang tiap hari. Banjir satu saat akan pergi. Demikian yang ada dalam pikirannya.
“Saya terpaksa menaiki perahu saat berangkat dan pulang kerja. Pernah satu kali perahu tidak ada, saya terpaksa memberanikan diri berjalan kaki menerobos banjir. Padahal air terus meninggi. Alhamdulillah saya selamat” cerita salah satu warga saat diminta menjelaskan kondisi terburuk saat banjir menerjang.
Warga desa Bojongsoang naik ojeg perahu saat banjir ( sumber : www.pikiran-rakyat.com) |
Mereka mungkin tak berdaya. Namun apakah kita akan tetap tinggal diam? Menganggap semua baik-baik saja? Bukankah selain bisa menelan korban, banjir juga mendatangkan penyakit. Ada banyak dana dan alokasi waktu tercurah untuk menganganinya. Hal yang terus berulang setiap tahun seperti tak menemukan solusinya.
Cinta Citarum, PR Kita semua
Barangkali cinta itu sudah tidak ada di hati kita. Barangkali pikiran pendek mengumpulkan harta membutakan kita. Lupa bahwa dunia ini akan kita wariskan pada anak cucu. Bagaimana kehidupan mereka kelak, jika sungai Citarum sebagai pemasok air terbesar sudah lumpuh total. Apakah kita bisa hidup?
STUPID! Kata itu memang lebih pantas disandang kita saat ini. Kata yang disampaikan seorang turis saat melihat warga dengan seenaknya membuang sampah ke sungai. Kita bodoh karena termasuk orang yang selama ini tak peduli. Egois kita tinggi, Citarum pun murka.
Meluaplah ia, memberikan racun dan bakteri. Tak lagi ramah. Tak lagi indah dan tak lagi berkah. Bagaimana ini? Apakah kita bisa mengembalikan keharumannya? Tentu saja bisa! Kita pasti Bisa.
Berkaca pada pengalaman Korea yang berhasil mengembalikan kebersihan sungai terkotor dalam kurun waktu 5 tahun tentu membawa angin segar. Jika negara lain sudah berhasil, kita bisa melakukan hal yang sama. Citarum kembali harum.
Program Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Daerah Air Sungai (DAS) Citarum digulirkan pada tanggal 22/2/2018 oleh Presiden Jokowi [2] Kita wajib memberikan dukungan dalam bentuk edukasi pada masyarakat, penelitian dan program-program lainnya. Cinta Citarum dapat tumbuh jika kita mulai mengingat kembali peran pentingnya, sebagai sungai terpanjang yang menjadi sumber kehidupan. Citarum adalah urat nadi kita.
Dosen Siap Mengambil Peran
Hal yang dapat dilakukan oleh tenaga pengajar di lingkungan pendidikan tinggi adalah aktif melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat maupun kegiatan penelitian yang mendukung terwujudnya Citarum Harum.
Mengajak masyarakat berkarya kreatif dengan sampah. Memberikan alternatif pilihan pemakaian produk ramah lingkungan serta membuat media-media edukasi cinta lingkungan adalah beberapa hal yang bisa dilakukan dosen.
Salah satu upaya yang sudah dilakukan dosen Sekolah Tinggi teknologi Bandung untuk warga desa Bojongsang, adalah mengajak masyarakat memanfaatkan kain perca menjadi keset. Tampak sederhana, tetapi hal ini memberikan solusi baru. Limbah konveksi termanfaatkan maksimal dan warga memiliki sumber penghasilan baru.
Di tataran pendidikan dini, kita bisa mengajak para guru aktif melakukan kegiatan edukasi manfaat kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya. Salah satu hal yang pernah dilakukan adalah merancang aplikasi berbasis multimedia untuk pendidikan karakter siswa usia dini.
“Jika selesai mengaji, sampah bertebaran dimana-mana. Anak-anak belum paham pentingnya menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya” salah satu guru madrasah menjelaskan saat dilakukan analisis kebutuhan perangkat lunak multimedia pendidikan.
Pembentukan karakter dengan pendekatan keagamaan dapat menjadi solusi, khususnya di desa Bojongsoang yang kental dengan suasana agamis. Islam mengajarkan pemeluknya untuk mencintai kebersihan. Anak-anak dapat dikenalkan dengan hadits dan kisah yang mengajarkan cinta kebersihan. Meyakini bahwa kebersihan sebagian dari iman serta mengaplikasikan dalam keseharian.
Pendidikan karakter, adalah hal yang mendapat perhatian besar dalam kurikulum 2013. Karakter muncul dari pembiasaan berulang. Membiasakan anak-anak membuang sampah pada tempatnya. Awalnya mungkin dipaksa, lama-lama terbiasa dan menjadi cinta kebersihan. Pembiasaan dapat dibantu dengan media edukasi berbentuk poster.
Perancangan multimedia pendidikan karakter ( sumber : dok pribadi) |
Anak-anak juga bisa dilatih untuk menuangkan ide cinta lingkungan dan kebersihan dalam bentuk tulisan. Membuat karya bersama dalam bentuk buku bisa menjadi pilihan. Menuliskan gagasan yang bisa dibaca banyak anak-anak lain seusianya.
Membuat tokoh karakter cinta Citarum hal yang bisa diupayakan untuk memunculkan rasa memiliki dan menjaga Citarum sejak dini. Kita bisa meniru Jepang yang membuat banyak film anak-anak dan buku cerita dengan membuat tokoh yang bisa menjadi role model. Menggurui tanpa terasa.
Kaptain Tsubatsa adalah salah satu contoh film yang sengaja dibuat untuk membangkitkan kembali semangat sepakbola Jepang [3]. Juga beberapa film kartun yang diproduksinya, secara implisit menerangkan budaya Jepang, Mengapa kita tidak melakukan hal yang sama? Membuat tokoh cerita yang akan mengedukasi anak-anak khususnya dan warga pada umumnya untuk kembali peduli pada Citarum.
Kita punya si Kancil, tetapi Kancil adalah tokoh “cerdik” suka mengakali. Jangan-jangan kebiasaan membuang sampah riumah tangga maupun industri, muncul dari perilaku kancil yang gemar tricky. Tidak mau rugi membayar iuran sampah, melakukan proses pengolahan limbah, akhirnya “mengakali” dengan membuangnya langsung ke sungai tanpa memikirkan akibatnya.
Kalau sudah memiliki mental tricky seperti ini, sebagus apapun program yang digulirkan akan dicari jalan untuk menghindari melaksanakannya. Akan dicari “celah aman” untuk melanggarnya.
Terdapat banyak skim penelitian dan pengabdian pada masyarakat bagi dosen yang bisa diarahkan untuk mendukung terciptanya Citarum Harum. Sayangnya, beberapa belum sempat terealisasi karena proposal penelitian kalah saing dengan temuan yang sifatnya bisa dihirilisasi.
Semoga saja dimasa yang akan datang, pihak Ristekdikti lebih peduli pada temuan-temuan yang bersifat mendukung terciptanya Citarum Harum. Terus melakukan inovasi tanpa merasa lelah dan putus asa. Karena kita cinta Citarum dan akan kita bela.
Penulis : Sri Kuswayati, Dosen Sekolah Tinggi Teknologi Bandung.
Kirim Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui Admin